Jumat, 02 April 2010

Wolf Totem by Rini Nurul Badariah

Suatu karya prosa tidak lahir begitu saja. Menurut Rene Wellek dan Austin Warren, terdapat aspek-aspek ekstrinsik yang membantu pembaca memahami prosa tersebut, yakni:
1. Biografi pengarang
2. Faktor psikologis (proses kreatif)
3. Faktor sosiologis (kemasyarakatan)
4. Faktor filosofis

Terkait novel Wolf Totem, unsur paling signifikan ialah riwayat hidup Jiang Rong. Pengarang yang bernama asli Lü Jiamin ini berangkat ke Mongolia secara sukarela pada usia 21 tahun dan bermukim di sana selama sebelas tahun. Ia sengaja memilih area yang terpencil demi keselamatan buku-bukunya. Novel yang gembur oleh nilai empiris ini tidak langsung dibuahkan begitu Jiang Rong kembali ke Beijing. Bahkan pengggarapan draft pertamanya memakan waktu enam tahun. Sang istri, novelis kenamaan Zhang Kangkang, menuturkan bahwa pria yang pernah menjabat associate professor di China Labor College itu mengurung diri setiap hari di ruang kerja dan tidak mau menceritakan apa yang tengah ditulisnya.

Kita cukup kerap mendengar homo homini lupus, adagium Plautus yang bermakna ‘manusia adalah serigala bagi manusia lainnya’. Jiang Rong mempertemukan manusia, yang diwakili pelajar Cina Han bernama Chen Zhen, dengan sosok hewan yang dalam dongeng-dongeng pun acap kali diidentikkan dengan stigma negatif tersebut. Berikut sejumlah catatan hasil mendaras keseharian Chen Zhen di Olonbulag selaku anak angkat Papa Bilgee, seorang pria Mongolia Dalam.

Leluri
Dalam adat-istiadat Olonbulag, rusa atau berang-berang salju hasil tangkapan pertama pada suatu tahun diberikan kepada tetamu. Apabila meninggal, para pemburu lokal ini tidak mau dikremasi atau dikubur dalam tanah, tetapi mempersembahkan diri kepada serigala. Di mata mereka, tindakan itu makin menunjukkan jasa serigala untuk mencegah penyakit yang dapat ditimbulkan tumpukan mayat.

Lamaisme
Sebutan ini diperuntukkan aliran Buddha yang dipeluk orang Tibet. Di kalangan masyarakat Mongolia, sejarahnya amat panjang dan mengandung kekerasan. Pada masa pemerintahan Altan Khan tahun 1578, undang-undang yang berlaku melimpahi pemeluk Lamaisme dengan kemudahan secara hukum, politik, dan ekonomi, sekaligus memberangus pengikut shamanisme serta melarang keras praktik ritual tradisional di rumah-rumah warga.
Para penganut Lamaisme menyembah Tengger [sedangkan kaum Cina Han memuliakan Dewa Naga], sehingga mereka meyakini bahwa membunuh banyak anak serigala sama saja dengan memendekkan umur sendiri.

Anjing di mata orang Cina Han
Inilah salah satu perbedaan pandangan masyarakat Cina Han, yang mayoritas petani, dengan orang Mongolia yang rata-rata pemburu. Bagi orang Cina Han, anjing bukanlah sahabat terbaik manusia. Chen Zhen menandaskan ini di halaman 229, salah satunya bahwa kebiasaan anjing menggonggong pada orang asing dan menggauli saudaranya sendiri ialah penyebab kaumnya membunuh dan memakan binatang itu.

Layakkah manusia merasa sebagai yang paling unggul?
“Jika kau membunuh semua rusa dalam sekali waktu, apa yang akan kau makan tahun depan? Serigala tidak tamak seperti manusia.” [hal. 47] Secara terang-terangan, Jiang Rong melakukan komparasi antara manusia, anjing dan serigala. Dengan insting untuk bertahan hidup, seekor serigala yang berusia setahun sudah mampu berburu domba sedangkan anak manusia masih mengenakan popok.
Keberanian serigala juga tidak dapat dipandang sebelah mata. Apabila salah satu kakinya terkena perangkap, binatang ini menggigitnya sampai lepas dan melarikan diri dengan tiga kaki saja. Cukup dimaklumi jika Chen Zhen memandang manusia yang mengakali hal ini dengan memasang dua perangkap sekaligus sebagai perbuatan bengis.
Meskipun tergolong kelompok binatang buas, serigala memiliki kepedulian lebih terhadap sesamanya dibandingkan harimau. Mereka membunuh rusa dalam jumlah banyak agar serigala tua dan sakit memperoleh makanan.

Membedakan kambing dengan domba
Domba cenderung pasrah, tidak mengeluarkan suara kendati serigala mencabik-cabik perutnya. Sementara dengan embikannya, kambing menyampaikan tanda bahaya kepada para penggembala begitu melihat tanda-tanda akan diserang.

Peran wanita
Perempuan Mongolia turut tergembleng oleh lingkungan yang serba keras. Mereka terbiasa berjaga malam, kendati telah capai menangani urusan rumah tangga di siang hari. Pasalnya, pada malam harilah serigala berkeliaran mencari mangsa.

Bahasan menyoal kuda
Pernah mendengar tentang “kuda putra?” Inilah jenis kuda yang kuat, tidak dikebiri, dan sanggup bertempur dengan serigala. Karakteristik kuda jantan Mongolia terletak antara lain pada surai mereka yang panjang.

Kecil bukan berarti tak berdaya
“Nyamuk di belantara Manchuria bisa memakan manusia hidup-hidup. Nyamuk kami sanggup memangsa seekor sapi.” [hal. 275] Makhluk mendengung yang berpesta pora di wilayah berpadang rumput ini menyelamatkan diri di musim dingin dengan memasuki liang-liang marmot.
Segerombolan tupai tanah melahap rumput lebih banyak daripada seekor rusa. Tingkat kelahiran anaknya tinggi, mencapai lima kali dalam setahun dan satu sarang dapat membengkak menjadi sepuluh dengan cepat.

Menilik tindak-tanduk serigala dari dekat
Hubungan penuh kasih yang terjalin antara Chen Zhen dengan anak serigala yang diperlakukannya bak anak kandung hadir sangat mengharukan. Menyusuri tahap tumbuh kembangnya, bagaimana hewan itu dapat secara naluriah menggali lubang guna mengatasi hawa panas lagi menyiksa, juga tatkala ia hanya menanggapi panggilan Serigala Kecil sekalipun telah tumbuh menjelang dewasa.
Saya harus berulang kali menyeka mata ketika enam bayi serigala lainnya dibunuh dengan dilambungkan ke udara [sebab dipercayai bahwa jiwa mereka akan pulang ke Tengger], saat Serigala Kecil memperlihatkan kekerasan hatinya untuk tidak sudi diseret-seret oleh manusia, bahkan sewaktu gigi taringnya dioperasi guna mengantisipasi bahaya karena ia mulai bisa menimbulkan luka di raga pemilik yang mengasihinya. Dengan deskripsi rinci namun jauh dari menjemukan, Jiang Rong sanggup mengetuk perasaan bahwa keberadaan makhluk lain di alam yang kita pijak untuk sementara ini bukan sekadar ‘pajangan’, figuran, atau menjadi sasaran manusia semata dalam menggenapkan rantai makanan.

Sudah barang tentu, novel ini mengemuka dengan memesona berkat kekompakan kerja sama penulis – di antaranya – dengan penerjemah ke dalam bahasa Inggris serta mereka yang terlibat dalam proses alih bahasanya di Indonesia. Wolf Totem merupakan karya semi-autobiografi yang rupawan dengan typo sedikit, sebut saja penyebutan judul buah pena Balzac 'Pere Gariot' yang seharusnya 'Père Goriot' [hal. 464]. Kesuburan informasinya dalam segi fauna dan lingkungan hidup, yang digelontorkan dengan fasih, pernah mengantarkan novel ini pada posisi terhormat Book of the Month National Geographic Traveler.
Intisari amanat yang termuat dalam Wolf Totem adalah betapa tidak patutnya manusia merasa piawai, sebab kerap kali kita malah menggunakan akal yang dikaruniakan Tuhan untuk menganiaya makhluk lain. Seperti termaktub dalam ucapan Chen, “Kalau kita tidak datang ke sini, bukankah kita tentu masih melihat dunia melalui mata bundar seekor tikus, yakin bahwa kita selalu benar?” [hal. 404].
Sangat laik jika Wolf Totem menyabet Man Asian Literary Prize tiga tahun silam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar