Jumat, 02 April 2010

Wolf Totem by Gieb

Serigala tiba-tiba menjadi harapan bagi Chen Zhen, pelajar muda dari Beijing yang akibat politik dikirim ke Olunbulag, sebuah daerah di pedalaman Mongolia. Dari seekor serigala, Chen Zhen tidak hanya belajar tentang pengetahuan, tetapi juga kearifan. Belajar tentang serigala, kita akan belajar tentang kehidupan. Saya merasa, pesan inilah yang ingin disampaikan oleh Jiang Rong dalam novel Wolf Totem ini.

Ada yang mengatakan nostalgia adalah rasa pedih yang mulia. Saya sependapat jika ada yang mengatakan bahwa Wolf Totem adalah novel yang menyedihkan. Sebuah cerita yang akhirnya menyerah kepada perubahan. Olunbulag, sebuah tempat yang penuh padang rumput awalnya, akhirnya menjadi gurun pasir karena kegagalan ekosistem akibat keserakahan manusia. Sebuah permulaan untuk menyebut serigala sebagai legenda. Serigala, yang bagi masyarakat nomaden Mongolia adalah sebuah sosok yang ditakuti sekaligus dihormati, perlahan digusur oleh Revolusi Budaya yang cenderung menggerus akar budaya lokalitas.

Saya suka membaca novel ini karena dalam novel ini kita mendapatkan deskripsi rinci nomaden sehari-hari, adat istiadat dan kepercayaan yang sudah diubah dan menghilang. Novel ini memang semi otobiografis sang penulis yang pernah tinggal di antara penduduk di Mongolia. Rasanya, seolah-olah tidak ada detail yang terlewat dari kehidupan para penggembala yang diceritakan penulis. Hal ini bisa menjadi menarik karena kita dijejali pengetahuan yang selama ini mungkin kita tidak pernah mendengarnya. Terutama pengetahuan tentang serigala, kuda, dan beberapa hewan lainnya. Tetapi, detail ini kadang membawa frustasi karena membawa cerita seperti melambat.

Membaca ini, saya menyadari bahwa penulis sedang mencoba untuk melestarikan segala sesuatu yang menjadi saksi terkecilnya, karena ia tahu bahwa ia akan segera tidak ada lagi. Nostalgia tadi jika hilang membuat cerita dalam buku ini menjadi tak ternilai. Saya berharap bahwa ada informasi lebih lanjut tentang berapa banyak dari novel ini secara langsung berdasarkan pengalaman penulis dan berapa banyak dihiasi untuk efek dramatis.

Chen Zhen sang karakter utama memang representasi dari penulis. Hal ini mungkin membuat bagi sebagian pembacanya bertanya-tanya, apakah penulis dalam kehidupan nyata masih menyimpan keinginan dan rasa bersalah yang berkaitan di padang rumput. Karena seperti yang diceritakan dalam novel ini, ketertarikan Chen Zhen untuk memelihara serigala telah menimbulkan konflik. Terutama oleh Bilgee sang tetua yang dihormati penduduk setempat. Menurut Bilgee, memelihara seekor serigala sama saja penghinaan terhadap Tengger, Sang Dewa Agung, karena Serigala adalah makhluk mulia dan terhormat yang tidak pantas diperlakukan seperti budak.

Memang, tak banyak yang aneh yang bisa kita ambil dari kearifan sosok Chen Zhen ini. Bahkan mungkin tak ada yang baru. Intinya adalah kepasrahan. Tampaklah pada Chen Zhen: perlawanan terakhir bukanlah perlawanan terhadap sesuatu yang lebih kuat dan pasti menang: Chen Zhen memandang ke utara dengan rasa sedih. Serigala telah berubah menjadi sekedar legenda, dan padang rumput hanya tinggal kenangan jauh. Suatu masyarakat penggembala berpindah telah punah, bahkan jejak terakhir yang ditinggalkan serigala di padang rumput Mongolia –liang kuno di anak serigala- akan terkubur dalam pasir kuning (halaman 600). Perlawanan terakhir adalah terhadap kepedihan merasa kalah. Kita perlu menang atas godaan mengganggap kemenangan itu satu hal yang paling penting.

Wolf Totem memberikan kita sebuah dalil, ‘jangan-jangan hidup memang tidak pernah adil’, dengan itu kita bisa maklum dengan kehilangan. Atau sebaliknya, karena tidak pernah adil, kita bisa menjadi brutal. Revolusi Budaya yang terjadi kurun 1966-1976 menyerang masyarakat yang secara ideologis masih percaya kepada takhayul dan konservatif. Tak terkecuali masyarakat Mongolia yang secara geografis berada di pedalaman. Serigala menjadi semacam penanda atau metaforis bagi novel ini. Serigala yang gagah berani dan buas, setia pada kawan, dan menghormati lingkungan mereka menjadi simbol resistensi masyarakat Mongolia khususnya dalam menghadapi Revolusi Budaya ala Mao.

Serigala dalam novel ini sepertinya tahu bahwa ia menjadi harapan bagi orang-orang di sekitarnya. Meski dalam sederhana: harapan baginya adalah ketika ia memberi. Mungkin dengan sedih, getir, dan rapuh. Tapi akhirnya, ia memberitahu kita: tetap saja ada orang yang berbuat baik, juga dalam kekalahannya. Bukankah itu juga sebuah harapan? Sekali lagi, ini adalah novel yang menarik dan menyedihkan. Sebaiknya Anda membacanya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar