Jumat, 02 April 2010

Wolf Totem by Barokah Ruziati

Setiap mendengar kata serigala, gambaran makhluk buas yang akrab dengan kegelapan langsung terlintas di pikiran, walaupun pada kenyataannya hanya segelintir orang yang pernah melihatnya secara langsung. Binatang ini begitu tebal diselimuti mitos dan misteri sehingga nyaris menjadi legenda. Beruang, harimau, atau gajah yang perkasa masih bisa dilihat di kebun binatang atau pertunjukan sirkus. Tapi serigala? Mereka lebih baik mati daripada menjadi tawanan.

Pesona serigala yang begitu kuat dan mengundang jeri meniupkan napas yang menghidupkan novel semiautobiografi ini. Ditulis berdasarkan pengalaman pribadi penulisnya, Jiang Rong, yang pada tahun 1969 menjawab seruan Pemimpin Mao agar para pelajar kota "turun ke desa", dengan menetap di salah satu wilayah paling terpencil di Cina, Mongolia Dalam.

Memilih lokasi fiktif padang rumput Olonbulag, penulis mengisahkan pengalaman pelajar muda bernama Chen Zen, yang bekerja sebagai penggembala domba di antara suku Mongolia yang nomaden, di bawah bimbingan Bilgee sang tetua suku. Berbeda dengan sebagian pelajar yang kesulitan menyesuaikan diri dengan kehidupan liar, Chen malah mendapati dirinya semakin lama semakin jatuh cinta pada padang rumput, pada kehidupan orang Mongolia yang begitu menghormati alam, dan terutama pada serigala.

Serigala adalah musuh sekaligus dewa yang mereka puja, totem mereka, jembatan menuju surga. Ketika orang Mongolia mati, jasadnya digeletakkan di gunung agar menjadi santapan serigala. Mereka percaya jiwa mereka akan diterbangkan oleh serigala menuju Tengger (tuhan yang mereka sembah).

Interaksi paling menarik antara Chen dan serigala adalah ketika dia memutuskan memelihara anak serigala. Keputusan yang ditentang Bilgee karena serigala adalah makhluk terhormat yang tidak pantas disamakan dengan anjing peliharaan. Keputusan yang terbukti akan selalu mendatangkan dilema bagi Chen, dan terus menggayuti pikirannya meskipun sudah puluhan tahun meninggalkan padang rumput.

Dengan detail mengagumkan yang hanya mungkin didapat dari pengamatan sepenuh hati, Jiang Rong menggambarkan anatomi binatang-binatang padang rumput, siklus kehidupan, hingga tingkah laku dan gerak-gerik mereka. Bagi pembaca yang tak terbiasa melahap uraian-uraian panjang penuh deskripsi, mungkin akan merasa bosan. Tetapi melalui uraian-uraian itulah, padang rumput primitif yang magis seakan-akan mewujud di depan mata.

Kisah ini menjadi menarik karena berlangsung selama periode Revolusi Budaya yang hiruk-pikuk. Di antara kesibukan alami 'mengakali' ganasnya alam agar tetap bertahan melewati musim dingin yang menggigit dan musim panas yang menyengat, para penggembala juga harus memikirkan kuota produksi dan poin jam kerja yang sangat tidak alami.

Bagi Chen sendiri, Revolusi Budaya merupakan dua sisi mata uang. Di satu sisi, pencanangan Revolusi Budaya membuat Chen bisa tinggal di padang rumput dan bertemu serigala yang begitu dia kagumi. Di sisi lain, Revolusi Budaya tanpa dapat dicegah menghancurkan kehidupan padang rumput yang telah berjalan ribuan tahun. Tekanan pemerintah pusat agar brigade produksi meningkatkan hasil daging dan pertanian membuat orang luar Mongolia menyerbu padang rumput serta memburu semua binatang penghuninya dengan membabi buta. Pemerintah juga memaksakan kehidupan menetap pada suku nomaden, padahal mereka terbiasa berpindah-pindah agar tidak merusak padang rumput.

Pada akhirnya, bagi saya, Wolf Totem adalah sebuah metafora akan kekalahan peradaban Mongolia. Kekalahan alam dari kebengisan manusia. Kekalahan cinta dari materi. Seperti yang terjadi di berbagai belahan dunia, kearifan alam semakin tergerus oleh ketamakan yang mungkin baru akan berhenti ketika manusia sadar bahwa mereka tak bisa hidup tanpa alam. Saat itulah totem serigala tidak lagi dipandang sebagai takhayul yang sia-sia, melainkan petuah hidup yang tak pernah lekang oleh waktu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar