Jumat, 02 April 2010

Wolf Totem by Rina Susanti

“Perang menuntut kesabaran,” sahut Bilgee lirih. ”Peluang menampakkan diri hanya pada mereka yang sabar, baik manusia maupun hewan, dan hanya mereka yang sanggup memanfaatkan peluang-peluang itu. Menurutmu bagaimana Jengis Khan sanggup mengalahkan pasukan-pasukan Jin (Cina) yang berukuran besar dengan jumlah tentara berkuda sesedikit itu? Dan semua bangsa yang jatuh ke tangannya?

Kesabaran itu pula yang dilakukan serigala Olonbulag. Untuk menikmati pesta pembantaian rusa, serigala harus menunggu hingga lima atau enam tahun, saat rusa bermigrasi dalam jumlah ribuan di awal musim dingin. Penyerangan dimulai setelah serigala mengintai dan menunggu hingga pagi hari. Karena walaupun sedang tidur, hidung dan telinga rusa tetap waspada hingga jika ada bahaya rusa akan melesat lari dan kecepatan berlari seekor rusa bukanlah tandingan serigala. Untuk itu seekor serigala akan menunggu hingga rusa tertidur dan bangun di pagi hari dengan kandung kemih penuh. Dan itulah saat tepat seekor serigala menerkam mangsanya karena rusa tidak bisa berlari sambil berkemih.

Pada saat yang sama, manusia mengintai pembantaian itu dan menunggu saat yang tepat untuk mengusir serigala dan menjarah rusa tangkapan serigala. Kulit rusa dihargai lebih tinggi dari upah mengembala dan daging rusa panggang segar adalah makanan terlezat di padang rumput. Akibatnya diawal musim semi serigala yang kelaparan akan turun gunung dan menjarah hewan ternak. Kisah diatas hanya sekelumit ‘pertempuran’ tanpa akhir antara serigala, nomad dan keganasan alam di padang rumput Mongolia Dalam.

Berawal pada musim dingin tahun 1967, Chen Zhen satu dari ribuan pelajar yang menuruti seruan Pemimpin Mao untuk ‘turun ke desa’.
Chen Zhen dikirim ke Olonbulag, Banner* Ujimchin di kawasan Mongolia Dalam bagian utara. Bagi Chen Zhen dan beberapa pelajar ‘turun gunung’ ini adalah kesempatan mendapat kehidupan yang tenang dan mereka tidak sepenuhnya ‘menuruti’ Pemimpin Mao. Chen Zhen melakukan perlawanan dengan cara membawa dua dus buku berisi buku-buku yang dilarang pemerintahan Mao karena dinilai kapitalis dan anti revolusioner. seperti buku-buku sejarah dan literatur Cina dan novel-novel sastra klasik karya penulis besar dunia seperti Balzac dan Tolstoy. Buku-buku itu akhirnya beredar dikalangan pelajar secara sembunyi-sembunyi dan menjadi barang yang mempunyai daya tawar cukup tinggi.

Sebagai masyarakat nomaden – hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain dengan membangun perkemahan dan mendirikan tenda bundar berwarna putih yang disebut yurt – dan alam berupa padang rumput, mata pencaharian utama masyarakat Mongolia Dalam adalah berburu dan pengembala domba, beternak sapi dan kuda. Dan Chen Zhen bekerja sebagai penggembala domba, suatu perkerjaan yang nilai lebih santai di banding memelihara kuda atau berburu.

Wilayah Mongolia Dalam terkenal dengan keganasan alamnya, badan salju yang bisa berlangsung berhari-hari dan serangan nyamuk ganas di musim kemarau. Untuk bertahan hidup selain harus bersaing dengan alam juga dengan hewan sebagai penghuni padang rumput seperti serigala, rusa, tikus dan marmut. Bersaing untuk mendapatkan lahan untuk hewan ternak dan bersaing mendapatkan hewan buruan. Dan itulah hal yang menarik perhatian sekaligus membuat Chen Zhen kagum. Namun yang lebih mengejutkan sekaligus membuat Chen Zhen ‘mencari tahu’ ternyata bagi masyarakat Mongolia serigala bukankah sekedar hewan buruan tapi sekaligus Totem mereka. Padahal bagi masyarakat Cina, serigala adalah momok yang menakutkan. Serigala mengancam ternak dan pertanian mereka.

Satu persatu, berkat kedekatannya dengan Bilgee – seorang lelaki tua asli Mongolia yang dituakan dan berpengaruh, sebab mengapa serigala menjadi totem mereka terungkap. Setelah mengikuti setiap perburuan dan melihat dari dekat perilaku serigala, Chen Zhen mengamini pendapat Bilgee bahwa serigala adalah binatang yang cerdas. Dan mereka meyakini dari serigalalah leluhur mereka, Jengis Khan dan prajuritnya belajar hal ihwal strategi perang militer, keberanian, kekerasan, kemampuan mengorganisir dan mampu bertahan hidup ketika harus melintasi ribuan kilometer dengan menunggang kuda untuk sebuah penaklukan. Membentangkan kekuasaan sepanjang daratan Asia (Cina, Rusia, Persia, Asia tengah dan Asia tenggara) dan sebagian Eropa. Sebuah penaklukan yang dilakukan suku primitif buta hurup dari negeri yang kering dan sengsara.

Novel yang memenangi Man Asian Literacy Prize tahun 2007 ini diangkat dari kisah nyata penulisnya, seorang intelektual Cina bernama pena Jiang Rong. Dalam novelnya ia berperan sebagai Chen Zhen, seorang intelektual muda Cina yang menghabiskan lebih dari satu dekade hidupnya di wilayah Mongolia Dalam. Walaupun baru diterbitkan dalam versi bahasa Indonesia akhir tahun lalu sebenarnya novel ini terbit untuk pertama kali tahun 2004 dan telah terjual lebih dari empat juta kopi.

Deskripsi langskap-lanskap padang rumput, detail sebuah perburuan, interaksi antara manusia, binatang dan alam yang komplek jalin menjalin menjadi satu dengan bahasa yang mengalir dan hidup membuat buku setebal 616 halaman ini terasa lebih tipis. Tak bisa berhenti membaca. Saya pikir ini tidak lepas dari penerjemahnya, yang begitu apik dan tepat memilih setiap kata sehingga walaupun terjemahan ‘emosi’ penulisnya tetap terasa, tidak kaku dan tidak kehilangan ruh ‘sastra’nya.

Dengan setting novel yang terjadi pada periode 1966-1976, saat kondisi suhu politik Cina ‘panas’ tidak bisa tidak novel ini bersinggungan dengan isu politik yang terjadi tahun itu. Dan di sini terlihat Jiang Rong sangat hati-hati dalam mengkaitkan cerita dalam novel ini dengan situasi politik atau pemegang kekuasaan di Cina saat itu. Alasannya, mungkin karena yang menjadi inti cerita dan pesan yang ingin disampaikan Jiang Rong dalam novel memoar ini bukan apa dan bagaimana politik di Cina saat itu. Sebut saja ketiadaan penjelasan mengenai mengapa para pelajar termasuk dirinya yang dikirim Olonbulag diharuskan bekerja seperti layaknya masyarakat setempat. Atau perihal kampanye ‘empat lama’ yaitu menghapusan gagasan lama, adat-istiadat lama, kebiasaan lama dan praktik lama, yang hanya sedikit disinggung. Pun penjelasan mengenai produksi yang harus memenuhi quota yang ditetapkan, jumlah jam kerja, denda, dan keberadaan perwakilan militer yang mengatur dan menguasai masyarakat. Untuk pembaca yang tidak tahu situasi politik di Cina saat mungkin akan agak membingungkan, walaupun tidak mengurangi esensi novel ini secara keseluruhan namun terasa ada ruang yang kosong. Atau Rong menghindari ini untuk menghindari bukunya di cekal peredarannya oleh pemerintah?

Lepas dari itu, mengutip yang dikatakan Rong pada sebuah media massa di Cina. “I spent 30 years thinking, and six years writing ‘Wolf Totem’, and my only hope was to produce an appealing story.” Hasilnya bukan sekedar novel yang menarik namun rekaman jejak sebuah kebudayaan yang hilang. Eksodus warga Cina etnis Han, etnis mayoritas sekaligus etnis dari mana penulis berasal ke wilayah Mongolia dengan membawa ide modernitas, pembukaan lahan pertanian secara besar-besaran, mendirikan rumah-rumah permanen, dan perintah pemusnahan serigala secara masal menyebabkan kebudayaan-kebudayaan asli Mongolia tergerus. Alasan pelarangan hidup berpindah-pindah adalah untuk menghindari kekeringan di padang rumput akibat pertanian yang eksesif dan perpindahan peternakan. Dalam novel ini Rong mengupas dengan detail bagaimana masyarakat Mongolia mempertahankan padang rumput dan menjaga ekosistemnya adalah dengan cara hidup berpindah-pindah dan simbiosis mutualismenya dengan serigala.

Chen Zhen sudah jatuh hati pada serigala dan bertekad menyelamatkan serigala, dengan cara merawat seekor anak serigala. Suatu hal yang bertentangan dengan masyarakat Mongolia yang mendewakan serigala dan pemerintah yang memerintahkan pemusnahan. Namun Chen Zhen tetap dengan tekadnya, dengan alasan untuk mempelajari karakter serigala akhirnya perwakilan penguasaa militer, Bao Shungui mengijinkan dan mendukungnya. Mampukah Chen Zhen dan teman-temannya menyelamatkan kawanan serigala dan membentung pembukaan lahan pertanian di kawasan Mongolia Dalam?

Kehadiran buku ini bukan tanpa kritik. Seorang kritikus Jerman Wolfgang Kubin menilai buku ini fasis karena bisa menimbulkan kebencian dari salah satu pihak.

Don’t judge the book from the cover, tapi saya pikir soal cover buku terkait dengan selera dan setiap orang bisa berbeda menilai cover buku. Dan menurut saya cover buku ini kurang menarik, pertama kurang artistik walupun saya akan kebingungan jika ditanya definisi artistik. Kedua, terlalu biasa atau tidak membuat orang penasaran untuk membacanya. Lepas dari itu, saya suka novel ini karena kandungan historis nya dan memuat banyak hal soal keseimbangan alam. Ehm, kabarnya buku ini akan segera difilmkan, kita tunggu saja dan berharap sebagus novelnya.

Salam….

Beberapa istilah

Banner : Unit administrasi yang setara dengan county (semacam kabupaten)

Totem : Sebuah kepercayaan keagamaan. Totem biasanya adalah hewan atau figure alam yang secara spiritual mewakili sekelompok orang atau suku.

Sekilas tentang penulis:
Jiang Rong adalah nama pena dari Lu Jiamin. Akibat The Great Proletarian Cultural Revolution atau Revolusi Budaya yang dilakukan Mao (1966), ia dan ribuan pelajar Cina lain harus “kembali ke desa dan memetik ‘pelajaran’ dari pada petani”. Akibat revolusi ini ujian masuk perguruan tinggi dibatalkan selama satu dekade. Tahun 1978 Lu Jiamin kembali ke Beijing dan meneruskan pendidikan di Akademi Ilmu Sosial lalu bekerja sebagai akademisi (dosen) di Universitas Beijing dan pensiun pada tahun 2006.

Wolf Totem by Mery Riansyah

Wolf Totem = Totem Serigala adalah sebuah buku semi autobiografi yang ditulis oleh Jiang Rong mengenai semasa hidupnya di sebuah Padang Rumput Mongolia, atau tepatnya di Olonbulag, Mongolia.

Dengan memperkenalkan diri sebagai Chen Zhen dalam buku ini, Jiang Rong mengupas tuntas misteri yang tersembunyi di Olonbulag dan bagaimana masyarakat Nomaden yang selalu berpindah tempat di alam liar tersebut bisa mempertahankan hidup mereka. Di buku ini kita juga diajak menyelami ajaran mistis para penduduk lokal Olonbulag mengenai kepercayaan mereka terhadap Dewa yang Agung, Tengger.

Para penduduk Padang Rumput percaya bahwa Tengger sang Pelindung mengirim Serigala sebagai utusanNYA. Dengan segala kecerdasan Serigala sebagai makhluk mistis, para penduduk belajar cara berperang, cara berpikir, dan cara bertahan hidup dari Serigala. Masyarakat Olonbulag, penghuni padang rumput sebagian besar adalah penggembala. Mereka menggembala domba, sapi dan kuda. Dengan hewan-hewan gembala tersebut hidup mereka tergantung pada kemakmuran Padang Rumput. Kendala yang mereka hadapi datang dari alam sekitar, terutama cuaca. Namun selain itu mereka juga harus menghadapi kendala dari hewan-hewan pemakan rumput lain, seperti Rusa, Marmot, dan Tikus. Di sinilah peran Serigala diperlukan. Serigala yang cerdas, gagah berani, dan buas membantu manusia mengontrol pertumbuhan populasi hewan-hewan merumput tersebut, hingga Padang Rumput masih menyisakan rumput segarnya untuk hewan gembalaan manusia.

Bagi Penduduk lokal, Serigala adalah hewan yang dipuja dan ditakuti. Kecerdikan Serigala yang telah mereka kenal selalu setia pada lingkungan dan kawanan mereka. Mereka adalah tentara perang yang tak kenal takut, mereka adalah Ibu dan Ayah yang teladan bagi anak-anak mereka. Ketentraman hidup manusia di Olonbulag bergantung pada ketentraman hidup Serigala mereka.

Aku suka sekali dengan buku ini. Walau judulnya Wolf Totem, tapi kita tidak hanya disuguhkan mengenai cerita Serigala saja, buku ini juga mengenalkan kita pada hewan-hewan lain. Seperti kuda, anjing, marmot, rusa, angsa, bahkan nyamuk. Setiap bab petualangan Chen Zhen membuat kita seakan sedang menonton film mengenai hewan-hewan liar yang kita bahkan tidak pernah kenal. Di buku ini, aku jadi tahu bagaimana Kuda hidup, mereka memaksakan anak gadis mereka yang sedang birahi agar keluar dari keluarga untuk diperebutkan oleh para pejantan muda. Di buku ini aku juga jadi tahu bagaimana Rusa yang senang memakan rumput ini bisa lari secepat mungkin namun tidak cukup pintar untuk melarikan diri dari bahaya. Di buku ini juga aku jadi tahu mengenai nyamuk yang ganas sehingga tidak memedulikan nyawa nya sendiri hanya untuk memuaskan perut lapar mereka. Bahkan aku juga mengerti tentang anjing yang cerdas dan tahu bagaimana melaksanakan tugas dan kewajiban mereka tanpa peduli akan nyawa mereka.

Buku ini terlalu indah untuk disebut autobiografi dan telalu nyata untuk dibilang fiksi, karena memang bukan fiksi semata, buku ini adalah kisah perjalanan anak Cina Han yang pergi menuju Olonbulag untuk mengemban pendidikan ulang. Chen Zhen, yang begitu terkesima dengan kecerdasan Serigala yang membantai habis kuda-kuda perang, akhirnya dengan nekad menjarah sarang Serigala dan membawa kabur tujuh anak serigala. Dengan membunuh lima anak serigala, dan membesarkan salah satu dari dua yang hidup, Chen mempelajari bagaimana seekor Serigala bisa tumbuh sedemikian hebat dan cerdas walau tanpa bantuan induknya. Serigala Kecil kesayangannya itu menjadi pemicu sederetan konflik yang menentang tindakan Chen tersebut, terutama oleh Bilgee sang tetua yang dihormati penduduk setempat. Menurut Bilgee, memelihara seekor serigala sama saja penghinaan terhadap Tengger, karena Serigala adalah makhluk mulia dan terhormat yang tidak pantas diperlakukan seperti budak. Namun apa yang Chen lakukan disertai dukungan oleh Bao Shunghui pemimpin besar Brigade Padang Rumput.

Hanya saja, Revolusi Budaya yang ikut melanda di Olonbulag mengancam kelestarian hidup di Padang Rumput. Populasi manusia semakin membludak dan membuat mereka kekurangan lahan untuk hidup dan bercocok tanam, para petani yang merasa lebih pintar daripada masyarakat Nomad, datang ke Olonbulag dengan dukungan Bao Shunghui dan perlahan-lahan menghancurkan padang rumput dan membabat habis isinya termasuk Serigala.

Mungkin memang begitu sikap dasar manusia, mereka membinasakan semua yang mereka anggap pengganggu, contohnya serigala. Padahal manusia lah yang penganggu, menganggu kehidupan alam liar, mengganggu kehidupan yang penuh mistis, menganggu kampung halaman milik Serigala, hingga akhirnya manusia sendiri juga yang menanggung bencana alam yang tak tertahankan akibat dari sikap tak terkendali mereka.

Buku ini ditulis oleh Jiang Rong setelah dua puluh tahun meninggalkan Olonbulag dan menjadi bestseller seketika setelah penerbitannya. Bagi Jiang Rong, novel ini adalah persembahan khusus bagi Bilgee sang Bapak Padang Rumput, yang telah memberikan ilmu dan pengetahuannya mengenai alam dan serigala. Novel ini juga dipersembahkan oleh Jiang Rong untuk sang Serigala Kecil, sebagai ungkapan rasa maafnya karena telah merenggut kebebasan dan kemuliaan jiwa serigalanya. Namun tidak luput juga novel ini ia jadikan tanda kasih sayang untuk sang Serigala Kecil tersebut.

Ahhh, sepertinya angan-anganku untuk memelihara serigala hanya akan mencapai khayalan saja. Yang pasti buku ini membuatku semakin mencintai hewan-hewan peliharaanku.

*Mery yang langsung memeluk Acha dan Momo, serta Luna dan Nero sedetik setelah menutup buku ini*

Wolf Totem by Barokah Ruziati

Setiap mendengar kata serigala, gambaran makhluk buas yang akrab dengan kegelapan langsung terlintas di pikiran, walaupun pada kenyataannya hanya segelintir orang yang pernah melihatnya secara langsung. Binatang ini begitu tebal diselimuti mitos dan misteri sehingga nyaris menjadi legenda. Beruang, harimau, atau gajah yang perkasa masih bisa dilihat di kebun binatang atau pertunjukan sirkus. Tapi serigala? Mereka lebih baik mati daripada menjadi tawanan.

Pesona serigala yang begitu kuat dan mengundang jeri meniupkan napas yang menghidupkan novel semiautobiografi ini. Ditulis berdasarkan pengalaman pribadi penulisnya, Jiang Rong, yang pada tahun 1969 menjawab seruan Pemimpin Mao agar para pelajar kota "turun ke desa", dengan menetap di salah satu wilayah paling terpencil di Cina, Mongolia Dalam.

Memilih lokasi fiktif padang rumput Olonbulag, penulis mengisahkan pengalaman pelajar muda bernama Chen Zen, yang bekerja sebagai penggembala domba di antara suku Mongolia yang nomaden, di bawah bimbingan Bilgee sang tetua suku. Berbeda dengan sebagian pelajar yang kesulitan menyesuaikan diri dengan kehidupan liar, Chen malah mendapati dirinya semakin lama semakin jatuh cinta pada padang rumput, pada kehidupan orang Mongolia yang begitu menghormati alam, dan terutama pada serigala.

Serigala adalah musuh sekaligus dewa yang mereka puja, totem mereka, jembatan menuju surga. Ketika orang Mongolia mati, jasadnya digeletakkan di gunung agar menjadi santapan serigala. Mereka percaya jiwa mereka akan diterbangkan oleh serigala menuju Tengger (tuhan yang mereka sembah).

Interaksi paling menarik antara Chen dan serigala adalah ketika dia memutuskan memelihara anak serigala. Keputusan yang ditentang Bilgee karena serigala adalah makhluk terhormat yang tidak pantas disamakan dengan anjing peliharaan. Keputusan yang terbukti akan selalu mendatangkan dilema bagi Chen, dan terus menggayuti pikirannya meskipun sudah puluhan tahun meninggalkan padang rumput.

Dengan detail mengagumkan yang hanya mungkin didapat dari pengamatan sepenuh hati, Jiang Rong menggambarkan anatomi binatang-binatang padang rumput, siklus kehidupan, hingga tingkah laku dan gerak-gerik mereka. Bagi pembaca yang tak terbiasa melahap uraian-uraian panjang penuh deskripsi, mungkin akan merasa bosan. Tetapi melalui uraian-uraian itulah, padang rumput primitif yang magis seakan-akan mewujud di depan mata.

Kisah ini menjadi menarik karena berlangsung selama periode Revolusi Budaya yang hiruk-pikuk. Di antara kesibukan alami 'mengakali' ganasnya alam agar tetap bertahan melewati musim dingin yang menggigit dan musim panas yang menyengat, para penggembala juga harus memikirkan kuota produksi dan poin jam kerja yang sangat tidak alami.

Bagi Chen sendiri, Revolusi Budaya merupakan dua sisi mata uang. Di satu sisi, pencanangan Revolusi Budaya membuat Chen bisa tinggal di padang rumput dan bertemu serigala yang begitu dia kagumi. Di sisi lain, Revolusi Budaya tanpa dapat dicegah menghancurkan kehidupan padang rumput yang telah berjalan ribuan tahun. Tekanan pemerintah pusat agar brigade produksi meningkatkan hasil daging dan pertanian membuat orang luar Mongolia menyerbu padang rumput serta memburu semua binatang penghuninya dengan membabi buta. Pemerintah juga memaksakan kehidupan menetap pada suku nomaden, padahal mereka terbiasa berpindah-pindah agar tidak merusak padang rumput.

Pada akhirnya, bagi saya, Wolf Totem adalah sebuah metafora akan kekalahan peradaban Mongolia. Kekalahan alam dari kebengisan manusia. Kekalahan cinta dari materi. Seperti yang terjadi di berbagai belahan dunia, kearifan alam semakin tergerus oleh ketamakan yang mungkin baru akan berhenti ketika manusia sadar bahwa mereka tak bisa hidup tanpa alam. Saat itulah totem serigala tidak lagi dipandang sebagai takhayul yang sia-sia, melainkan petuah hidup yang tak pernah lekang oleh waktu.

Wolf Totem by Gieb

Serigala tiba-tiba menjadi harapan bagi Chen Zhen, pelajar muda dari Beijing yang akibat politik dikirim ke Olunbulag, sebuah daerah di pedalaman Mongolia. Dari seekor serigala, Chen Zhen tidak hanya belajar tentang pengetahuan, tetapi juga kearifan. Belajar tentang serigala, kita akan belajar tentang kehidupan. Saya merasa, pesan inilah yang ingin disampaikan oleh Jiang Rong dalam novel Wolf Totem ini.

Ada yang mengatakan nostalgia adalah rasa pedih yang mulia. Saya sependapat jika ada yang mengatakan bahwa Wolf Totem adalah novel yang menyedihkan. Sebuah cerita yang akhirnya menyerah kepada perubahan. Olunbulag, sebuah tempat yang penuh padang rumput awalnya, akhirnya menjadi gurun pasir karena kegagalan ekosistem akibat keserakahan manusia. Sebuah permulaan untuk menyebut serigala sebagai legenda. Serigala, yang bagi masyarakat nomaden Mongolia adalah sebuah sosok yang ditakuti sekaligus dihormati, perlahan digusur oleh Revolusi Budaya yang cenderung menggerus akar budaya lokalitas.

Saya suka membaca novel ini karena dalam novel ini kita mendapatkan deskripsi rinci nomaden sehari-hari, adat istiadat dan kepercayaan yang sudah diubah dan menghilang. Novel ini memang semi otobiografis sang penulis yang pernah tinggal di antara penduduk di Mongolia. Rasanya, seolah-olah tidak ada detail yang terlewat dari kehidupan para penggembala yang diceritakan penulis. Hal ini bisa menjadi menarik karena kita dijejali pengetahuan yang selama ini mungkin kita tidak pernah mendengarnya. Terutama pengetahuan tentang serigala, kuda, dan beberapa hewan lainnya. Tetapi, detail ini kadang membawa frustasi karena membawa cerita seperti melambat.

Membaca ini, saya menyadari bahwa penulis sedang mencoba untuk melestarikan segala sesuatu yang menjadi saksi terkecilnya, karena ia tahu bahwa ia akan segera tidak ada lagi. Nostalgia tadi jika hilang membuat cerita dalam buku ini menjadi tak ternilai. Saya berharap bahwa ada informasi lebih lanjut tentang berapa banyak dari novel ini secara langsung berdasarkan pengalaman penulis dan berapa banyak dihiasi untuk efek dramatis.

Chen Zhen sang karakter utama memang representasi dari penulis. Hal ini mungkin membuat bagi sebagian pembacanya bertanya-tanya, apakah penulis dalam kehidupan nyata masih menyimpan keinginan dan rasa bersalah yang berkaitan di padang rumput. Karena seperti yang diceritakan dalam novel ini, ketertarikan Chen Zhen untuk memelihara serigala telah menimbulkan konflik. Terutama oleh Bilgee sang tetua yang dihormati penduduk setempat. Menurut Bilgee, memelihara seekor serigala sama saja penghinaan terhadap Tengger, Sang Dewa Agung, karena Serigala adalah makhluk mulia dan terhormat yang tidak pantas diperlakukan seperti budak.

Memang, tak banyak yang aneh yang bisa kita ambil dari kearifan sosok Chen Zhen ini. Bahkan mungkin tak ada yang baru. Intinya adalah kepasrahan. Tampaklah pada Chen Zhen: perlawanan terakhir bukanlah perlawanan terhadap sesuatu yang lebih kuat dan pasti menang: Chen Zhen memandang ke utara dengan rasa sedih. Serigala telah berubah menjadi sekedar legenda, dan padang rumput hanya tinggal kenangan jauh. Suatu masyarakat penggembala berpindah telah punah, bahkan jejak terakhir yang ditinggalkan serigala di padang rumput Mongolia –liang kuno di anak serigala- akan terkubur dalam pasir kuning (halaman 600). Perlawanan terakhir adalah terhadap kepedihan merasa kalah. Kita perlu menang atas godaan mengganggap kemenangan itu satu hal yang paling penting.

Wolf Totem memberikan kita sebuah dalil, ‘jangan-jangan hidup memang tidak pernah adil’, dengan itu kita bisa maklum dengan kehilangan. Atau sebaliknya, karena tidak pernah adil, kita bisa menjadi brutal. Revolusi Budaya yang terjadi kurun 1966-1976 menyerang masyarakat yang secara ideologis masih percaya kepada takhayul dan konservatif. Tak terkecuali masyarakat Mongolia yang secara geografis berada di pedalaman. Serigala menjadi semacam penanda atau metaforis bagi novel ini. Serigala yang gagah berani dan buas, setia pada kawan, dan menghormati lingkungan mereka menjadi simbol resistensi masyarakat Mongolia khususnya dalam menghadapi Revolusi Budaya ala Mao.

Serigala dalam novel ini sepertinya tahu bahwa ia menjadi harapan bagi orang-orang di sekitarnya. Meski dalam sederhana: harapan baginya adalah ketika ia memberi. Mungkin dengan sedih, getir, dan rapuh. Tapi akhirnya, ia memberitahu kita: tetap saja ada orang yang berbuat baik, juga dalam kekalahannya. Bukankah itu juga sebuah harapan? Sekali lagi, ini adalah novel yang menarik dan menyedihkan. Sebaiknya Anda membacanya

Wolf Totem by Sugeanti Madyoningrum

Masyarakat padang rumput Mongolia termasyur berkat nama besar Jenghis Khan. Masyarakat penggembala yang hidup secara berpindah-pindah di wilayah padang rimput Mongolia yang luas. Mongolia bertetangga dengan Cina. Tapi sayang, masyarakat Cina yang agraris dan masyarakat Mongolia yang nomaden, meski secara historis ada pencampuran darah keduanya tapi menolak untuk ‘bersatu’. Hal ini terjadi karena adat istiadat mereka yang sangat bertolak belakang. Masyarakat Cina agraris (Kaum Han) berprinsip dimana saja asalkan ada rumput yang tumbuh subur berarti tanah itu bisa dijadikan ladang atau sawah. Mereka selalu membuka lahan-lahan baru demi keuntungan semata tanpa memperhatikan keseimbangan ekosistem lahan tersebut. Bila lahan yang digarap sudah kering dan tidak bisa ditanami maka mereka akan meninggalkannya begitu saja.

Sedangkan masyarakat nomaden Mongolia (kaum padang rumput) memanfaatkan padang rumput mereka dengan sangat hati-hati. Mereka adalah pengembala domba, kambing, sapi dan kuda. Kaum padang rumput menentukan jumlah peliharaan mereka berdasarkan ketersediaan rumput yang ada. Kalaupun mereka harus berpindah mencari padang rumput yang baru, selalu masih tersedia sedikit rumput dengan kotoran ternak mereka. Hal ini dilakukan agar padang rumput bisa tumbuh hijau kembali seperti sedia kala. Dan bisa dimanfaatkan lagi (meskipun tidak optimal) setelah padang rumput baru nantinya menipis. Suatu hal mendasar yang memungkinkan kedua kaum ini tak bisa bersatu.

Chen Zhen -seorang pelajar muda kaum Han dari Beijing- dikirim ke Olonbulag di Mongolia dalam. Dia dan Yang Ke mendapat tugas sebagai pengembala domba, ditemani oleh tiga anjing kesayangan mereka (Erlang, Yir, dan Kuning). Chen sangat menyukai hidup di padang rumput. Kehidupan baru yang penuh dengan hal-hal baru dan tantangan mendebarkan. Tinggal di Yurt, bertarung dengan ganasnya nyamuk pada musim panas, bertahan dalam badai salju rambut putih, menggembala 1.700 domba dan kambing, dan yang paling menantang adalah berperang dengan serigala Olonbulag. Chen seorang pemuda yang cerdas dengan rasa ketertarikan tinggi pada kehidupan kaum padang rumput. Hal ini lah yang membuat dia cepat belajar banyak hal baru selama tinggal di Brigade 2. bilgee, Sang tetua adat di brigade 2 mencintainya bahkan menjadikan chen sebagai anak angkat.

Kedekatan Chen dengan Bilgee, yang membuatnya lebih mengenal tentang adat istiadat masyarakat Mongolia Dalam. Satu hal yang sangat menarik perhatiannya adalah tentang totem serigala. Suatu warisan turun temurun buyut dari para buyut Jenghis Khan hingga keturunan Bilgee, bahwa serigala sangat dimuliakan. Serigala adalah pelindung padang rumput. Selama ini Tengger (sesembahan orang Mongolia) sangat menyayangi serigala. Selain menjaga kelestarian padang rumput, serigala juga sebagai perantara pelepasan roh kaum padang rumput yang sudah meninggal, agar segera mencapai Tengger. Kaum padang rumput yang meninggal akan dibawa ke bukit, lalu serigala akan memangsa seluruh tubuh mayat tersebut. Begitulah serigala menolong agar roh mayat tersebut mencapai Tengger. Sesuai dengan kepercayaan, apabila ada mayat yang tetap utuh maka rohnya tidak akan bisa bahagia berjumpa Tengger tapi merana di kedalaman gurun Gobi.

Serigala juga patuh menjalankan tugas dari Tengger untuk menjaga padang rumput. Serigala memakan rusa, marmot, tikus tanah dan kelinci dalam jumlah besar. Hal ini dilakukan karena hewan-hewan tersebut mampu menghabislan rumput puluhan hektar hanya dalam hitungan hari saja. Bila hal ini dibiarkan, ternak para pengembala kaum padang rumput akan mati kelaparan. Gerombolan serigala hanya akan memakan ternak bila populasi ternak kaum padang rumput dirasa terlalu banyak atau keempat hewan rakus itu diburu habis oleh manusia. Bilgee mengidolakan serigala yang sangat bertanggung jawab pada kelompoknya. Para serigala pemburu ketika sudah mendapatkan mangsa tidak akan menghabiskan seluruhnya, tapi hanya makan secukupnya lalu mereka menyisakan daging buruan untuk anggota kelompok yang tidak ikut berburu, yaitu para srigala tua, cacat, betina dan anak-anak serigala. Ketika kelompok terakhir ini pergi, barulah hewan korban buruan mereka hanya tinggal tulang belulang. Serigala selain pelari cepat, berani juga terkenal cerdik dan sabar dalam berburu. Berbagai strategi manajemen pasukan yang dilakukan oleh Jengis Khan meniru seluruh taktik berburu, pertahanan dan juga mental ‘bertarung’ serigala. Oleh karena itu meski prajurit Jengis Khan lebih sedikit dari lawan, dia tetap bisa meraih kemenangan.

Beberapa fakta inilah yang membuat Chen menjadi terobsesi pada serigala. Dia ingin mengetahui segala sifat dan perilaku serigala. Tidak hanya berdasarkan cerita dari Bilgee atau para pengembala lain. Namun juga dalam jarak dekat dengan mata kepalanya sendiri. Chen berkeinginan untuk menculik dan memelihara anak serigala di Yurt. Dia beserta Yang Ke, Gao Jianzhong dan Dorji berhasil menculik anak serigala di lereng gunung. Meski Dorji kemudian tertarik untuk memelihara anak serigala juga, namun sayang ketika berumur 1 bulan dibunuhnya. Hanya tinggal Chen yang tetap bertahan dengan anak serigala itu. Bukan sebuah hal mudah memelihara anak serigala. Selain serigala kecil ini rakus juga menghabiskan banyak persediaan susu dan daging milik Chen. Para pengembala juga menentang usaha Chen, terutama pengembala kuda. Suatu hal yang wajar, karena ternak-ternak mereka pernah dicuri. Serigala telah memakan ternak mereka. Ada dendam yang terpendam. Ternak-ternak itu adalah aset mereka, yang bisa menopang kehidupan mereka dan keluarganya.

Apalagi, ketika Chen membawa pulang anak serigala itu, sedang terjadi permasalahan besar menyangkut serigala antara anggota brigade 2 dan para petinggi militer. Hal ini mengakibatkan Batu, Laasurung dan 2 pengembala kuda diturunkan jabatannya. Selain itu, Kamerad Uljii dipecat. Mereka berlima adalah keluarga dalam brigade 2. Yang lebih memberatkan hati Chen, Bilgee marah dengan keputusannya memelihara hewan tersebut. Serigala selama ini adalah simbol kemuliaan masyarakat padang rumput Mongolia Dalam, posisinya berada diatas manusia. Totem serigala. Bila serigala dipelihara manusia maka ia hanya akan menjadi budak, yang posisinya dibawah manusia. Dengan kesungguhan hati dan niat baik, Chen berjanji pada Bilgee dan Direktur Bao Shungui –pemimpin brigade 2 yang baru- akan tetap memuliakan serigala dan menempatkan serigala kecil itu selayaknya raja. Meski sudah mendapatkan ijin tapi Chen tetap menjalani hari-hari yang berat. Untung saja meski anak serigala itu masih kecil Chen sudah bisa belajar banyak tentang kecerdasan dan perilaku serigala.
Saya terhanyut dengan deretan emosi Chen yang disungguhkan penulis ketika dia membesarkan serigala kecil. Detail keseharian mereka dalam berinteraksi sering menggundang gelak spontan juga geram terpendam. Meski akhir dari persahabatan antara Chen dan serigala kecil tidak sesuai dengan yang saya inginkan. Tapi larikan emosi keduanya meninggalkan bekas mendalam dihati.

Dalam buku ini, penulis mendeskripsikan dengan detail seluruh setting dan adegan setiap tokoh, juga luapan emosi yang mengiringi setiap adegan. Tentu hal ini tak luput dari kecemerlangan sang penterjemah yang menuturkan isi buku dengan bahasa sederhana dan menyenangkan untuk dinikmati. Gaya bahasa ini membuat saya seakan berada di dekat Chen dan turut menikmati segala apa yang dia lihat, dengar dan rasakan secara langsung tanpa jeda. Bagian kesukaan saya adalah ketika Bilgee, Uljii dan Chen menemukan padang rumput baru. Dimana Chen merasakan seakan di padang rumput yang letaknya di surga. Deskripsi penerjemah menawan hati. Tentang padang rumput hijau terhampar indah dengan danau angsa ditengahnya. Juga pendeskripsian hamparan luas bunga Peony Terna Putih dari kaca mata Yang Ke yang romantis. Pemilihan katanya sederhana tapi sanggup meluluhkan hati dan menarik kita untuk hadir langsung menikmati pemandnagan tersebut.

Saya menyukai buku ini. Saya mendapatkan banyak sekali ilmu tentang serigala, kebiasaan hidup para hewan dan juga penduduk nomaden padang rumput di Mongolia Dalam. Dan yang tak kalah menariknya. Penulis juga menuturkan berbagai trik untuk berburu dan bertahan hidup di padang rumput. Buku ini memang berisi pengalaman penulis yang diambil selama hidup di padang rumput wilayah perbatasan China. Namun, saya salut pada seluruh detail yang dituangkan penulis untuk buku ini. Terjawab sudah penasaran saya akan sebuah tulisan kecil di sampul buku ini “National Geographic Traveller (book of the month). Suatu hal yang layak adanya. Sampul warna merah hitam dengan dominasi wajah serigala dengan sorot mata tajam, sanggup menarik perhatian pada pandangan pertama. Terlepas dari kalimat-kalimat panjang dan deskripsi pada bab-bab awal yang bertele-tele. Buku ini hadir nyaris sempurna (hanya delapan kata yang typo) dan layak dinikmati oleh para pencinta buku dimanapun anda berada.(Ugik)